PURWAKARYA NYI POHACI

Artikel oleh Indira Kusumaning Pratiwi, ISBI Bandung

Kata kunci: penyajian, karawitan, tembang sunda cianjuran

Sumber pengambilan dokumen: RB 2014 PRA

Relasi:

Dibuat: 10 Agustus 2018

Abstraksi

Judul Skripsi Karya Penyajian Karawitan pada Tugas Akhir (TA) kacapi dalam tembang sunda cianjuran oleh penyaji adalah “Purwa Karya Nyi Pohaci”. Makna yang terkandung tersirat pada kata-kata yang menyusun judul tersebut, yakni: “Purwa” yang berarti pertama; Karya” adalah hasil perbuatan; dan “Nyi Pohaci” sebagai representasi figur perempuan dalam mitologi di Sunda. Judul tersebut adalah gambaran penyaji yang bertindak sebagai perempuan yang hidup dan dibesarkan di lingkungan kultur masyarakat Sunda, menyematkan simbol untuk diri sendiri sebagai “Nyi Pohaci” dalam kaitan membuat “karya” yang dipandang bersejarah dalam fase kehidupan penyaji (contoh fase kehidupan seperti kelahiran, sekolah, lulus sekolah, menikah, kematian). Karya yang dikatakan ‘bersejarah’ karena mintembeyan atau pertama atau “purwa” bagi penyaji, serta berdampak pada kelulusan pendidikan dengan cara mempresentasikan skill di depan khalayak khalayak umum.
Purwa Karya Nyi Pohaci menjadi landasan atau titik keberangkatan penyaji untuk mempresentasikan kekaryaan dari jerih payah atau kristalisasi keringat, tenaga, pikiran, dan biaya selama kuliah pada Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Landasan yang menjadi momentum untuk membuktikan diri bahwa penyaji sebagai wanita ternyata mampu memainkan instrumen kacapi indung, menepis keraguan orang-orang yang berada dalam lingkaran tempat penyaji bersosialisasi selama ini.
Keragu-raguan orang-orang dalam lingkaran sosialisasi penyaji, didasari penyematan nilai yang dipandang ‘kebenaran’ final bagi orang yang meyakininya, bahwa wanita adalah mahluk yang tidak berbakat dalam pengolahan psikomotorik suatu keterampilan, misalnya berkesenian seperti kasus yang dihadapi penyaji mempelajari kacapi indung sebagai minat kompetensi dalam menempuh perkuliahan. Minat utama yang jauh dari orientasi kaum wanita selama menempuh perkuliahan pada jurusan Karawitan STSI Bandung. Fenomena yang percis dialami Yani Isdiani saat mengidentifikasi permasalahan adanya pendikotomian gender di kalangan pamirig (kompetensi pada kacapi indung) pada lingkungan akademis selama ini, di mana letak kesulitan kaum wanita saat mempelajari kacapi indung, dituliskanya sebagai berikut:
Salah satu faktor yang menyebabkan pamirig wanita sedikit jumlahnya dibandingkan dengan pamirig laki-laki adalah dikarenakan tingkat kesulitan dari tabuhan kacapi indung itu sendiri. Kesulitan tersebut terletak pada pengolahan psikomotorik jari jemari tangan, menyatukan antara tangan kiri dan tangan kanan, yang bekerja sama membentuk jalinan melodi. Biasanya kompetensi ini dicapai melalui perjalanan waktu yang cukup panjang. (Yani Isdiani, 2011:4).

Bagi penyaji, fenomena di atas menarik untuk dikritisi melalui sebuah aksi (action) untuk menimbulkan reaksi (reaction) sebagai pembuktikan bahwa kaum perempuan bisa melakukan aktivitas kaum laki-laki. Seperti bunyi hukum alam: ada sebab ada akibat atau ada aksi tentu ada reaksi, walaupun ‘kecil’ dampaknya, setidaknya menimbulkan riak yang menunjukan keberadaan perempuan Sunda untuk tidak dipandang ‘sebelah mata’. Aksi dari seorang Nyi Pohaci yang dibesarkan pada jaman globalisasi, menempuh pendidikan di kampus seni, membuat karya nyata yang menyejajarkan laki-laki dan perempuan dalam sebuah kedudukan yang sama. Penyajian Purwa Karya Nyi Pohaci: Kacapi Indung dalam Tembang Sunda Cianjuran adalah ajang pembuktian atas usaha tersebut. Karya yang dikatakan purwa serta berat untuk direalisasikan oleh mahasiswa berjenis kelamin perempuan seperti penyaji, namun menjadi penting untuk diperjuangkan, karena merubah cara pandang atau stigma yang selama ini berkembang di lingkungan masyarakat. Karya penyajian yang mencoba mendobrak stigma pendeskriditkan kedudukan wanita, walaupun ‘kecil’ riaknya, akan tetapi diharapkan memberikan gelombang stimulus bagi Nyi Pohaci lainnya untuk melanjutkan perjuangan R.A. Kartini dan Dewi Sartika yang lebih dahulu memperjuangkannya.


Hak Cipta

Copyright 2018 ISBI Bandung. Verbatim copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is preserved.

Kontributor

#