REPRESENTASI KAUM MENAK PRIANGAN DALAM GAMELAN DEGUNG

Artikel oleh R Savitri Puji Lestari, ISBI Bandung

Kata kunci: pengkajian, menak, representasi, priangan, degung

Sumber pengambilan dokumen: PASCA 2018 LES

Relasi:

Dibuat: 29 Januari 2019

Abstraksi

Gamelan Degung pada era kejayaan kaum menak di sunda wilayah priangan menjadi salah satu penanda dari keeksklusifan golongan. Kalangan ini merupakan golongan lapisan masyarakat yang disebut kaum menak. Kalangannya mengklaim banyak hal yang mempertegas jarak dan batasan antara kalangan kaum menak dengan kalangan yang saat itu dianggap berada dibawahnya. Gamelan Degung dijadikan salah satu lambang eksklusivitas kaum menak. Seiring redupnya kejayaan kaum menak dan terjadi peleburan masyarakat dalam sebuah sistem kenegaraan, gamelan Degung pun seolah membaur dan memiliki identitas kepemilikan baru sebagai milik masyarakat sunda.
Sebagai teori yang sebenarnya berada dalam teori besar sirkuit budaya, teori representasi Stuart Hall digunakan sebagai perangkat utama dalam menganalisis kajian ini. Disisi lain teori estetika paradoks dari Jakob Sumarjo menopang kajian ini dalam mengurai temuan pola musikal menjadi sebuah rangkaian makna yang filosofis.
Berdasarkan analisis terhadap gamelan degung yang secara kontekstual berkaitan dengan kaum menak, Degung hidup berdampingan dengan kaum menak. Maksud dari kaum menak bertahan dalam gaya hidup dengan mengklaim hal yang dapat yang telah dicapai terefleksikan dalam gamelan Degung. Ketika kaum menak berada dalam kejayaan kualitas sosial, Degung pun diperlakukan istimewa. Dan ketika kaum menak sudah masuk dalam kesamaan kalangan dalam sebuah negara republik, Degung juga memiliki jalannya sendiri dan menjadi milik kalangan masyarakat yang lebih luas.


Gamelan Degung in the era of the triumph of the people in Sunda region is concerned about being one of the markers of class exclusiveness. These circles are a class of people called the folk. this circles claim many things that reinforce the distance and boundaries between people who are looking for who are currently considered to be under them. Gamelan Degung is used as one of the symbols of the exclusivity of the masses. Along with the development of society in a state system, gamelan Degung also seems to blend and have a new identity as belonging to the Sundanese community.
As a theory that is actually in a big theory, Stuart Hall"s representation theory was the main tool in the analysis of this study. On the other hand, paradoxical aesthetic theory from Jakob Sumarjo sustains this study in breaking down the findings of musical patterns into a collection of philosophical meanings.
The use of gamelan Degung analysis which is contextually referred to as the folk, Degung coexist with the masses. The use of the folk survive in a lifestyle by claiming things that have been successfully reflected in gamelan Degung. If the tribe in the triumph of social quality, Degung is treated special. And gathering people who make it into a republican state, Degung also has its own path and becomes a member of the wider community.

Hak Cipta

Copyright 2019 ISBI Bandung. Verbatim copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is preserved.

Kontributor

#